Semestinya, kata dia, ada definisi konkret dan memiliki batasan yang jelas mengenai frasa ‘berita atau pemberitahuan bohong’ dan ‘keonaran di kalangan rakyat tersebut.
Apabila tidak, maka dikhawatirkan bersifat karet/lentur, tidak bisa diukur, dan penerapannya dikhawatirkan berpotensi sewenang-wenang dalam menafsirkan.
“Hukum pidana mesti bersifat lex stricta, yaitu hukum tertulis tadi harus dimaknai secara rigid, tidak boleh diperluas atau multitafsir pemaknaannya,” ucap dia.
Chandra menyebut frasa ‘keonaran di kalangan rakyat’ pun hingga saat ini tidak ada definisi dan batasan yang jelas. Hal itu dikhawatirkan dan berpotensi menjadikan aparat penegak hukum dapat dengan secara subjektif dan sewenang-wenang menentukan status suatu kondisi dimaksud.
“Bahwa pasal tersebut berpotensi dapat disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu dengan dugaan motif pelaporan balas dendam, shock therapy, persekusi kelompok dan delegitimasi individu,” kata dia.
Oleh karena itu, dia mendorong pemerintahan Presiden Jokowi melakukan revisi atau menghapuskan pasal-pasal karet tersebut.
“Sikap Presiden dalam hal ini sangat diperlukan agar tidak memunculkan persepsi publik sebagai rezim yang mengkriminalisasi dan membungkam suara kritis,” tegasnya.